Latest News

Sunday, April 14, 2019

Makna kematian bagi kita orang percaya


“Aku telah mempersiapkannya sepanjang hidupku….”

Namanya adalah Sr. Rosemary Smith, OSF. Ia adalah seorang pensiunan biarawati Fransiskan, yang tinggal tak jauh dari rumah tempat saya dan suami saya tinggal. Di usianya yang sudah 86 tahun itu, ia masih sangat aktif dalam kegiatan pelayanannya sebagai seorang biarawati. Ia mengajar katekisasi, memimpin koor anak-anak di gereja dan mengajar anak-anak ‘home-school‘ dan ia selalu bersemangat memberitakan Kristus. Sekitar sebulan yang lalu kami mendengar bahwa ia mengalami serangan aortic aneurysm, yaitu pembengkakan pembuluh aorta yang dapat beresiko pecah. Jika itu terjadi, maka ia dapat meninggal seketika. Hari itu, seharusnya kami berencana makan siang bersama, namun kami malah menerima telepon, bahwa Sr. Rosemary sedang dilarikan ke rumah sakit. Sore harinya kami besuk di rumah sakit, dan melihat Sr. Rosemary terbaring dengan slang infus menembus tangannya. Ia mengatakan bahwa ada kemungkinan ia akan dioperasi, walaupun kemungkinan berhasilnya sangat tipis, mengingat usianya yang sangat lanjut. Namun tanpa operasipun, keadaan juga sudah sangat parah, sebab cepat atau lambat pembuluh aortanya itu pasti pecah. Mendengar hal itu kami sangat sedih, membayangkan bahwa malam itu mungkin adalah pertemuan kami yang terakhir dengannya di dunia ini. Akhirnya kami bersama berdoa devosi Kerahiman Ilahi, sambil memohon belas kasihan Tuhan kepadanya. Di akhir kunjungan kami, ia berkata, dengan cerianya seperti biasa, “Don’t worry. I’ve been living my whole life preparing for death that I may see Jesus. Perhaps this is my time, and I am ready.” (“Jangan kuatir. Sepanjang hidupku aku telah mempersiapkan diri untuk mati, agar aku dapat melihat Yesus. Mungkin ini saatnya bagiku, dan aku sudah siap.)

Atas kemurahan dan mukjizat Tuhan, ternyata operasi yang dilakukan terhadap Sr. Rosemary berhasil. Ia masih diberi kesempatan hidup oleh Tuhan, atau diberi “extra- time” untuk melayani Tuhan, menurut Sr. Rosemary. Namun perkataannya menjelang operasi itu sungguh membekas di hati saya. Ya, seharusnya memang kita hidup seperti Sr. Rosemary; yaitu hidup memberikan diri kepada Tuhan dan sesama, dan dengan demikian, mempersiapkan diri untuk kematian kita, di mana kita akan bertemu dengan Tuhan Yesus yang mengasihi kita, dan yang kita kasihi.

Sudahkah kita berpikir tentang kematian?
Mungkin tak banyak dari antara kita yang senang berpikir tentang kematian. Perkataan kematian dapat membawa pikiran kita kepada liang kubur, atau tubuh kita akan membusuk dan berubah menjadi abu ataupun debu tanah. Melalui kematian, dipenuhilah firman Allah ini, “… sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (Kel 3:19). Hidup kita memang semata-mata adalah karunia Tuhan. Tuhanlah yang membentuk kita manusia dan memberikan nafas kehidupan kepada kita (lih. Kej.2:7). Dalam kehidupan ini kita bertumbuh, berjuang dalam suka dan duka. Namun semua ada waktunya, semua ada akhirnya. Nafas akan berhenti, umur kita tergenapi. Segalanya akan habis, barang apapun yang kita punyai di dunia ini tak ada sedikitpun yang dapat kita bawa. Semuanya berakhir, hanya jiwa kita saja yang masih hidup, dan menghadap kepada Tuhan, dengan membawa iman, pengharapan dan kasih. Jika kita merenungkan semua ini, tentu kita akan lebih bijaksana dalam menghadapi dan mengisi kehidupan. Sebab kita akan dapat melihat, mana yang penting bagi kehidupan kita selanjutnya di surga, dan mana yang tidak. Kita akan menjadi bijaksana menggunakan waktu yang ada, untuk semakin mengenal, mengasihi dan memuliakan Tuhan. Sebab Dia-lah yang akan kita jumpai setelah kehidupan ini. Dia-lah yang merupakan segala-galanya bagi kita, dan yang menjadi sumber dan puncak kebahagiaan kita yang sejati dan kekal selamanya!

Dasar Kitab Suci
Kitab Suci mengisahkan kepada kita mengapa sampai kita mengalami kematian, dan bagaimana seharusnya kita menyikapinya sebagai orang beriman.

1. Manusia mati karena dosa, dan tak seorangpun yang dapat berkuasa atas hari kematian.

Dari kisah Adam dan Hawa kita ketahui bahwa manusia mati karena dosa pertama yang dilakukan (lih. Kej 2:16). Menurut pengajaran Rasul Paulus, “Upah dosa ialah maut.” (Rom 6:23a). Semua orang yang berdosa, pada akhirnya akan mati (lih. Mzm 89: 48) dan tak ada seorangpun yang berkuasa atas hari kematian (Ams 11:19).
Maka kita melihat banyak contoh di dalam Kitab Suci bagaimana dosa, terutama dosa menghujat Tuhan, memimpin seseorang kepada maut, seperti pada banyak contoh dalam Perjanjian Lama. Atau mungkin yang paling jelas dalam Perjanjian Baru adalah kematian Yudas (lih. Kis 1:18) dan Herodes (Kis 12:19-23). Dosa yang inilah yang memisahkan kita dengan Allah.

2. Kematian Kristus membuka pintu perdamaian antara kita dengan Allah dan oleh kurban Kristus kita dapat memperoleh keselamatan dan hidup yang kekal.

Ketika kita masih berdosa dan menjadi seteru Allah, Kristus wafat bagi kita untuk mendamaikan kita dengan Allah; sehingga oleh darah-Nya kita dibenarkan (lih. Rom 5:9-10). Maka oleh Adam, kita manusia jatuh dalam dosa, sedangkan oleh Kristus kita memperoleh hidup yang kekal (lih. Rom 5:12-18). Oleh ketidaktaatan Adam kita semua jatuh dalam dosa, namun oleh ketaatan Yesus kita semua dibenarkan (lih. Rom 5:19). Kita menerima rahmat kehidupan kekal pada saat kita dibaptis di dalam kematian Kristus, untuk dibangkitkan bersama-sama dengan Dia dan memiliki kehidupan yang baru bersama Dia (lih. Rom 6:1-4).

3. Kematian ini dikalahkan oleh kebangkitan Kristus.

Kebangkitan Kristus dari kematian menjadi bukti bahwa kematian tidak berkuasa atas diri-Nya (lih. Rom 6:9). Ketika tubuh kita yang fana ini mengenakan Kristus, maka maut telah ditelan dalam kemenangan (lih. 1 Kor 15:53-57). Dengan kebangkitan Kristus dari kematian, Ia mengalahkan belenggu dosa dan maut, sehingga bahkan kematian sekalipun tidak dapat memisahkan kita dari kasih-Nya (lih. Rom 8:38-39). Oleh jasa Kristus ini, maka ketika kita tubuh kita mati, artinya kemah tempat kediaman kita di bumi dibongkar, Allah telah menyediakan tempat kediaman di sorga yang kekal (lih. 2 Kor 5:1).

4. Atas jasa Kristus itu, maka bagi orang percaya, kematian adalah seperti jatuh tertidur (fallen asleep), sebab kita mempunyai pengharapan akan kebangkitan dan hidup yang kekal.

Dengan Roh Kudus yang sudah diberikan kepada kita, maka Roh Kudus itu yang telah membangkitkan Yesus dari kematian, akan juga membangkitkan kita (lih. Rom 8: 11). Maka dengan demikian, kita yang “mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia” (2 Tim 2:11). Pada akhirnya, kita yang telah meninggal dalam Kristus akan dibangkitkan oleh Kristus, seperti Kristus bangkit setelah kematian-Nya. Kebangkitan badan ini akan terjadi di akhir jaman, saat Kristus turun dari sorga diiringi sangkakala (lih. 1 Tes 4:13-18).

5. Namun demikian, sebelum kita memperoleh kehidupan kekal, segera setelah kematian kita akan diadili.

Seperti yang kita ketahui dari kisah Lazarus dan orang kaya setelah kematian mereka (lih. Luk 16:19-31), kita mengetahui, bahwa manusia “ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi.” (Ibr 9: 27). Pada saat inilah kita diminta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita (lih. Luk 16:2) dan akan diadili sesuai dengan perbuatan kita (lih. 1 Pet 1:17, Rom 2:6). Lalu jiwa kita menerima akibat dari keputusan pengadilan ini. Inilah yang disebut Pengadilan Khusus.

Sedangkan pada akhir dunia nanti, kita akan kembali diadili di hadapan semua mahluk, dan segala perbuatan baik dan jahat akan dinyatakan, “Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak diketahui dan diumumkan.”(Luk 8: 17). Pada saat itu, seluruh bangsa akan dikumpulkan di hadapan tahta Kristus, dan Dia akan mengadili semua orang: yang baik akan dipisahkan dengan yang jahat seperti memisahkan domba dan kambing (lih. Mat 25: 32-33). Pengadilan ini merupakan semacam ‘pengumuman’ hasil Pengadilan Khusus setiap orang di hadapan segala mahluk. Inilah yang disebut Pengadilan Umum/ Terakhir. Hasil ini Pengadilan Umum ini akan memberikan penghargaan ataupun penghukuman terhadap jiwa dan badan. Selanjutnya tentang Pengadilan Khusus dan Umum, silakan klik di sini.

6. Kematian juga dapat berarti mati secara rohani karena dosa, dan kita membutuhkan pengampunan dari Tuhan untuk menghidupkan kita kembali secara rohani.

Rasul Paulus mengatakan bahwa kita telah mati secara rohani karena pelanggaran kita, namun kemudian dihidupkan kembali sesudah Allah mengampuni kita (lih. Kol 2 :13, Ef 2:1-5). Kita adalah orang- orang yang dahulu mati karena dosa, tetapi sekarang hidup oleh Allah, sehingga perlu menyerahkan anggota-anggota tubuh kita kepada Allah (Lih. Rom 6:12-13). Kita tidak selayaknya hidup menuruti keinginan daging, bermewah- mewah dan berlebihan, karena jika demikian artinya kita sudah mati selagi masih hidup (lih. 1 Tim 5:6). Dari keadaan seperti inilah kita semua harus bangkit, untuk mengikuti terang Kristus (lih. Ef 5:14).

7. Kematian terhadap diri sendiri adalah jalan menuju kekudusan.

Rasul Paulus mengajarkan kepada kita agar kita mematikan segala sesuatu yang duniawi di dalam diri kita, agar kita dapat hidup sebagai manusia baru (Kol 3:5). Dengan hidup sebagai manusia baru, kita mempunyai Kristus yang menjadi pusat hidup kita. Sehingga, kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk kita (lih. 2 Kor 5:14-15). Dan hidup bagi Kristus dan di dalam Kristus ini adalah kekudusan, di mana kita dimampukan untuk mengasihi Tuhan dan sesama.

8. Jika kita hidup di dalam Kristus, maka kematian adalah suatu keuntungan.

Karena jika kita hidup menurut segala perintah-Nya, maka kita akan hidup untuk Kristus. Bagi umat beriman, kita tidak hidup untuk diri kita sendiri, dan juga tidak mati untuk diri kita sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan (Rom 14:8). Maka dengan selalu tinggal di dalam Dia, tidak menjadi soal apakah kita hidup atau mati. Rasul Paulus mengatakan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan,” (Flp 1:21) karena melalui kematian kita pergi untuk bertemu dengan Kristus dan diam bersama- sama dengan Dia (lih. Flp 1:23). Pada saat itulah, kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya (1 Yoh 3:2). Maka dalam arti kehidupan kekal ini, maka dapat dikatakan, “hari kematian lebih baik dari hari kelahiran” (Pkh 7:1).

9. Kematian orang dikasihi Tuhan berharga di mata Tuhan.

“Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya” (Mzm 116:15). Jiwa orang benar ada dalam tangan Allah, dan tidak ada siksaan yang menimpa mereka. Walau kematian mereka nampak sebagai malapetaka menurut pandangan orang bodoh, namun mereka sesungguhnya berada dalam ketentraman…. Sebab kasih setia Tuhan dan belas kasihan-Nya menjadi bagian orang-orang pilihan-Nya (lih. Keb 3:1-9).

10. Yesus berpesan agar kita tidak takut menghadapi kematian.

Yesus berkata, “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada” (Yoh 14:1-3).

Menurut Bapa Gereja
1. St. Klemens dari Roma (96): “Ketika kita masih di dunia, mari kita bertobat dengan sepenuh hati… sehingga kita dapat diselamatkan oleh Tuhan…. Sebab, setelah kita meninggalkan dunia ini, kita tidak dapat mengaku dosa atau bertobat lagi.” ((St. Clement of Rome, Second Letter to the Corinthians, 8:2))

2. St. Ignatius dari Antiokhia (98- 117 ): “Lebih baiklah bagiku untuk mati karena Kristus, daripada hidup sebagai raja atas segala ujung bumi. Aku mencari Dia, yang wafat untuk kita; aku menghendaki Dia, yang bangkit demi kita. …” ((St. Ignatius of Antioch, Rom 6:1-2))

3. Tertullian (abad ke 2): Kematian mengacu kepada sesuatu yang kehilangan prinsip vital yang membuatnya hidup. Maka tubuh yang kehilangan hidup ini menjadi mati…. Karena tubuh kita telah mati di dalam Adam, maka tubuh kita akan dibuat hidup di dalam Kristus. ((Lihat Tertullian, Against Marcion, Bk.5, Chap.9))

4. Aphraates (270-345): Ketika manusia meninggal dunia…. Hakim itu [Kristus] akan duduk, dan buku-buku kehidupan akan dibuka; dan perbuatan- perbuatan baik dan buruk akan dibacakan, maka mereka yang berbuat baik akan menerima penghargaan, dan mereka yang melakukan perbuatan- perbuatan jahat akan menerima hukuman dari Hakim yang adil. ((Aphraates, Demonstrations, 8:20)).

5. St. Agustinus (354-430): Setelah meninggalkan tubuh, jiwa diadili, sebelum ia dihadapkan pada penghakiman terakhir, saat tubuh dibangkitkan untuk bersatu dengan jiwa itu. Ini seperti pada kisah Lazarus yang miskin yang dibawa ke pangkuan Abraham, sedangkan orang kaya itu ke neraka; segera setelah kedua orang itu meninggal dunia (Luk 16:22-). ((St. Augustine, On the Soul and its Origin, Bk. 2, Chap. 4)) Semua jiwa yang meninggalkan dunia ini mempunyai penerimaan yang berbeda-beda, yang baik menerima suka cita, yang jahat menerima neraka. Setelah kebangkitan badan terjadi, baik suka cita mereka yang baik akan menjadi lebih penuh, dan siksa mereka yang jahat juga semakin besar, sebab mereka juga tersiksa dengan badan mereka…. ((St. Augustine, On the Gospel of John, 49:10))

6. St. Teresa Avilla: “Aku ingin melihat Tuhan, dan untuk melihat-Nya, aku harus mati.” ((St. Teresa of Avilla, Life, Ch.1))

7. St. Therese dari Lisieux: “Aku tidak mati, aku memasuki kehidupan.” ((St. Therese of Lisieux, The Last Conversations))

Pengajaran Gereja Katolik tentang Kematian
KGK 1006 ….. “Dan untuk mereka yang mati dalam rahmat Kristus, kematian adalah “keikut-sertaan” dalam kematian Kristus, supaya dapat juga mengambil bagian dalam kebangkitan-Nya (Lih. Rm 6:3-9, Flp 3:10-11).

KGK 1007, 1013 Kematian adalah akhir dari kehidupan di dunia; Kematian adalah akhir dari perziarahan menusia di dunia.

KGK 1008 Kematian adalah konsekuensi dari dosa:… kematian telah masuk ke dalam dunia, karena manusia telah berdosa (Bdk DS 1511).

KGK 1009 Kematian diubah oleh Kristus: Ketaatan Yesus telah mengubah kutukan kematian menjadi berkat (Lih. Rom 5:19-21).

KGK 1010 Oleh Kristus kematian Kristen mempunyai arti positif. “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Flp 1:21) “Benarlah perkataan ini: jika kita mati dengan Dia, kita pun akan hidup dengan Dia”(2 Tim 2:11)….

KGK 1011 Dalam kematian, Allah memanggil manusia kepada diri-Nya. Karena itu, seperti Paulus, warga Kristen dapat merindukan kematian: “Aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus” (Flp 1:23) Dan ia dapat mengubah kematiannya menjadi perbuatan ketaatan dan cinta kepada Bapa, sesuai dengan contoh Kristus (lih Mat 23:46)

KGK 1014 Gereja mengajak kita, supaya kita mempersiapkan diri menghadapi saat kematian (“Luputkanlah kami dari kematian yang mendadak ya Tuhan” – Litani semua orang kudus), supaya mohon kepada Bunda Allah agar ia mendoakan kita “pada waktu kita mati” (doa “Salam Maria”) dan mempercayakan diri kepada santo Yosef, pelindung orang-orang yang menghadapi kematian:
“Dalam segala perbuatanmu, dalam segala pikiranmu, hendaklah kamu bertindak seakan-akan hari ini kamu akan mati. Jika kamu mempunyai hati nurani yang bersih, kamu tidak akan terlalu takut mati. Lebih baik menjauhkan diri dari dosa, daripada menghindari kematian. Jika hari ini kamu tidak siap, apakah besok kamu akan siap?” (Mengikuti Jejak Kristus 1,23, 1)….

Sudahkah kita siap?
Akhirnya, mari bersama-sama kita merenungkan, sudahkah kita siap menghadapi kematian kita? Ini merupakan pertanyaan yang mudah dijawab dengan mulut namun sebenarnya tidak semudah itu, jika itu melibatkan segala konsekuensinya. Sebab walaupun kita telah memperoleh janji keselamatan dan kehidupan kekal, namun kita harus memperjuangkannya selama kita masih hidup di dunia ini, agar kita dapat menerimanya (lih. Flp 2:12). Apakah kita telah sungguh mengenal Allah dan mengimani Kristus? Apakah kita telah mengasihi Tuhan dengan segenap hati kita? Dan mengasihi sesama demi kasih kita kepada Tuhan? Apakah kita telah merindukan persatuan dengan Tuhan dan kehidupan surgawi yang Tuhan janjikan? Apakah kita mau hidup dalam pertobatan terus menerus sampai pada akhir hidup kita?

Ada baiknya pertanyaan- pertanyaan terus kita renungkan dalam hati kita, agar kita mengingat bahwa hidup kita di dunia ini adalah sementara. Namun, Tuhan telah mempersiapkan kehidupan yang kekal bagi kita orang-orang percaya. Mari kita senantiasa berdoa agar kita setia dalam iman, pengharapan dan kasih, sehingga pada saatnya nanti, kita melihat penggenapan firman ini:

“Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1 Kor 2:9).

http://www.katolisitas.org/makna-kematian-bagi-kita-orang-percaya/



"Kami diciptakan untuk-Mu ya Tuhan,

jiwa kami belum tenang sebelum beristirahat pada-Mu."


Ungkapan di atas keluar dari lubuk hati seorang makhluk ciptaan Allah yang begitu rindu untuk bersatu dengan Allah Sang Pencipta. Itulah Santo Agustinus, seorang Bapak dan Pujangga Gereja yang termashyur. Apa yang dikatakannya merupakan jawaban sekaligus kerinduannya yang besar terhadap Rumah Bapa. Ia sadar bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanyalah suatu persiapan untuk suatu kehidupan pada suatu dunia yang akan datang, dalam kemuliaan surgawi, suatu kehidupan yang mulia tempat kita dapat memandang Allah dari muka ke muka dalam kebahagiaan (Visiun Beatifica), sambil memuji dan memuliakan-Nya sampai kekal (bdk. Why 15:3-4).

Itulah kebahagiaan abadi yang disediakan Allah untuk semua ciptaan-Nya. Inilah suatu kerinduan setiap orang kristen yang sedang dalam peziarahan menuju tanah air surgawi. Kerinduan itu akan dipuaskan Allah saat kehidupan kita beralih dari dunia ini, menuju rumah abadi. Saat itulah kepuasan dan kebahagiaan yang kita rindukan tidak pernah berakhir. Itulah kebahagiaan kekal.

Hidup kita di dunia ini merupakan suatu peziarahan. Kita adalah musafir-musafir Allah yang sedang dalam peziarahan menuju ke rumah Bapa di surga. Keyakinan kita mengajarkan bahwa setelah kehidupan kita berakhir di dunia ini, kita akan menemukan suatu kediaman abadi. Dengan demikian bagi kita kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Kematian hanyalah suatu peralihan dari dunia yang nyata kepada dunia yang baru seperti yang dikatakan dalam kitab Wahyu: "Aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu dan lautan tidak ada lagi. Aku melihat kota yang kudus Yerusalem surgawi turun dari surga dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya" (Why 21:1-2). Walau hidup di dunia ini penuh dengan penderitaan, perjuangan, dan kesedihan, tetapi di kota kediaman abadi, Allah akan menghapus segala air mata dari mata kita dan maut tidak ada lagi; tidak ada lagi perkabungan dan ratap tangis atau dukacita sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu (bdk. Why 21:4).

Secara nyata, sebenarnya inti ajaran kristiani terletak pada misteri Paskah; wafat dan kebangkitan Kristus. Tidak ada ajaran kristiani yang terpisah dari misteri ini. Kristus memanggil kita untuk mengambil bagian dalam misteri keselamatan-Nya. Kematian Kristus menunjukkan kematian manusia lama kita dengan segala dosa kita dan kebangkitan-Nya dari alam maut menunjukkan kebangkitan kita untuk menjadi manusia yang baru. Dengan demikian kematian Kristus, salib, dan kebangkitan-Nya, mengandung nilai redemtif atau penebusan. Kita semua diselamatkan berkat darah Kristus yang tercurah di salib. Neraka yang merupakan ganjaran atas dosa-dosa kita, justeru oleh Kristus diubahnya menjadi surga keselamatan kita. Inilah misteri Paska yang dikerjakan Allah melalui Putera-Nya yang mengurbankan diri bagi keselamatan umat manusia. Tanpa keyakinan akan wafat dan kebangkitan Kristus, iman kita tidak artinya lagi, demikian dikatakan Santo Paulus.

Kita percaya dengan teguh dan pasti serta menanti dengan penuh pengharapan dalam iman, bahwa sebagaimana Kristus telah bangkit dari antara orang mati dan hidup selama-lamanya, demikian pula kita sebagai umat yang ditebus-Nya itu akan bangkit dan hidup bersama dengan Dia selama-lamanya. "Jika Roh Dia yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya yang diam di dalam kamu" (Rm 8:11).

Sebagai orang yang percaya kepada Kristus dan akan kuasa kebangkitan-Nya yang memberi kehidupan kepada kita, kita adalah Gereja-gereja Kristus yang masih hidup dan yang mengenakan daging dengan Ia sendirilah yang menjadi kepalanya. Kehidupan kita di dunia ini merupakan antisipasi atau persiapan untuk suatu kehidupan yang akan datang. Karena itu, kehidupan kita di dunia ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan yang akan datang. Kita dapat mengalami surga sejak di dunia ini, yaitu jika kita hidup dalam rahmat Allah; dengan pertobatan yang terus menerus. Kebahagiaan di surga tidak lain dari pada kepenuhan hidup rahmat di dunia ini.

Di lain pihak, kita juga dapat mengecap atau mengalami neraka sejak hidup di dunia ini, jika kita tidak bertobat dan tidak berpaling kepada Allah dengan hidup dalam berbagai bentuk dosa. Sebagai akibat dari dosa tersebut hidup kita akan dangkal, suara hati menjadi tumpul, tidak mengalami kedamaian dan sukacita. Yang ada hanyalah hujatan-hujatan dan kutukan terhadap Allah dengan melakukan aneka macam dosa. Inilah gambaran kehidupan neraka. Oleh karena itu, neraka tidak lain merupakan suatu suasana manusia menolak rahmat Allah dan memilih hidup terpisah dari Allah dengan mengabdi kepada cinta diri yang melawan cinta Allah.

Oleh sebab itu, kenyatan hidup yang akan datang (Eskatologis), sangat erat kaitannya dengan hidup sekarang, bahkan kehidupan sekarang sangat menentukan untuk hidup yang akan datang. Karenanya kehidupan sekarang merupakan awal dari kehidupan yang akan datang. Hanya di dunia ini ada kesempatan untuk bertobat dan kembali ke jalan Tuhan sedangkan setelah kematian tidak ada kesempatan lagi. Memilih untuk bertobat berarti memilih untuk hidup di tanah air surgawi dalam kebahagiaan kekal, sedangkan memlih untuk tidak bertobat berarti memilih neraka artinya berpisah dari Allah yang tidak lain hidup dalam penyiksaan api yang kekal.

Kematian dalam pandangan kristen mempunyai arti yang positif. "Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan" (Flp 1:21) "Benarlah perkataaan ini: Jika kita mati dengan Dia, kita pun akan hidup dengan Dia" (2Tim 2:11) Aspek yang sungguh baru dalam kematian kristen terdapat dalam hal pembaptisan warga kristen secara sakramental, yaitu sesudah "mati bersama Kristus", dapat mengalami suatu kehidupan yang baru. Sangat indah hal ini dikatakan Santo Ignatius dari Antiokhia: "Lebih baiklah bagiku untuk mati karena Kristus dari pada hidup sebagai raja atas segala ujung bumi. Aku mencari Dia yang wafat untuk kita; aku menghendaki Dia, yang bangkit demi kita. Kelahiran aku nantikan....biarlah aku menerima sinar yang cerah. Setelah tiba di surga aku akan menjadi manusia."

Kematian kristiani berarti Allah memanggil manusia kepada diri-Nya, bersatu dengan kodrat-Nya yang ilahi. (bdk. 2Ptr 1:4) Karena itu Santo Paulus mengungkapkan hal ini: "Aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus" (Flp 1:23). Santa Teresa dari Avila mengatakan: "Aku hendak melihat Allah dan untuk melihat Dia, orang harus mati." Kerinduan terdalam orang kristen adalah kebahagiaan bersama Allah sebagai Bapa dalam kerajaan-Nya yang abadi. Di dalam dan bersama Allah, kebahagiaan yang dirindukan itu terpenuhi dan sempurna. "Kerinduan duniawiku sudah disalibkan di dalam aku, ada air yang hidup dan berbicara, yang berbisik dan berkata kepadaku: Mari menuju Bapa," demikianlah ungkapan kerinduan Santo Ignatius dari Antiokhia. Pandangan kristen tentang kematian dilukiskan sangat indah dalam liturgi prefasi misa arwah: "Bagi umat beriman-Mu ya Tuhan, hidup hanyalah berubah, bukannya dilenyapkan, dan sesudah roboh rumah kami di dunia ini, akan tersedia bagi kami kediaman abadi disurga."

Kematian merupakan titik akhir dari perjalanan hidup manusia di dunia ini; titik akhir dari masa rahmat dan masuk dalam kehidupan yang terakhir. Kehidupan terakhir ini tidak ditentukan oleh seberapa besar jasa dan perbuatan kita selama di dunia tetapi seberapa besar kita melaksanakan hukum cinta kasih yang merupakan hukum yang utama. Santo Yohanes Salib mengatakan: "Pada senja hidup kita, kita akan diadili dengan cinta kasih." Karena itu, " Apabila jalan hidup kita sudah berakhir" (LG 48), kita tidak akan kembali lagi untuk hidup beberapa waktu lagi di dunia ini. "Manusia ditetapkan untuk hidup dan mati hanya satu kali dan sesudah itu ia dihakimi" (Ibr 9:27). Setelah kematian tidak ada "Reinkarnasi".

Kematian mengakhiri kehidupan manusia di dunia ini. Ia dapat menerima atau menolak rahmat ilahi yang ditawarkan Kristus kepadanya. Saat kematian setiap manusia menerima ganjaran abadi dalam jiwanya yang tidak dapat mati. Ini terjadi dalam suatu pengadilan khusus yang menghubungkan kehidupannya dengan Kristus, entah masuk ke dalam kebahagiaan surgawi melalui api penyucian, atau masuk langsung ke dalam kebahagiaan surgawi, atau mengutuki dirinya untuk selama-lamanya dalam nyala api yang kekal, yaitu neraka.

Orang yang hidup dalam rahmat, dalam persahabatan dengan Allah, dan disucikan sepenuhnya, akan hidup selama-lamanya dalam kebahagiaan bersama Allah dan dalam pesekutuan dengan para malaikat dan para kudus di kerajaan surga, tanah air yang kita nanti-nantikan. Mereka dapat memandang Dia dalam keadaan yang sebenarnya (bdk. 1Yoh 3:2), memandang-Nya dari muka ke muka (bdk. 1Kor 13:12). Saat itu, iman akan lenyap dan pengharapan tidak ada lagi. Karena apa yang merupakan gambaran yang samar-samar yang kita imani di dunia ini, telah menjadi nyata; dan apa yang tidak pernah kita lihat akan menjadi tampak dengan jelas. Pengharapan kita kepada Allah akan janji-janji-Nya melalui wahyu-Nya telah digenapi yaitu kebahagiaan kekal bagi semua orang beriman. Pada waktu itu yang tinggal hanyalah cinta. Cintalah yang menyatukan kita dengan tujuan akhir hidup kita yaitu Sang Cinta sendiri (bdk. 1Yoh 4:16).

Konsili Vatikan II dalam konstitusi Lumen Gentium artikel 49 (LG 49) mengatakan: "Umat beriman yang mati setelah menerima pembaptisan Kristus, kalau mereka tidak memerlukan penyucian ketika mereka mati, atau kalaupun ada, sesudah yang harus disucikan atau yang akan disucikan.......sebelum pengadilan umum setelah kenaikan Tuhan dan penyelamat kita ke surga, sudah berada dan akan berada di surga dan firdaus surgawi bersama Kristus dan bergabung bersama persekutuan para malaikat yang kudus. Dan sesudah penderitaan serta kematian Tuhan kita Yesus Kristus, jiwa-jiwa ini sudah melihat dan sungguh melihat hakikat ilahi dengan suatu pandangan yang langsung dan bahkan dari muka ke muka tanpa perantaraan makhluk apa pun" (bdk. Benedictus XII, PS 1000).

Hidup di surga berarti berada bersama Allah dengan hakikat-Nya sebagai Allah Tritunggal; Bapa, Putera dan Roh Kudus. "Hidup berarti, ada bersama Kristus; di sana dengan sendirinya ada kehidupan, di sana ada kerajaan," demikian ungkap Santo Ambrosius. Misteri persekutuan, kebahagiaan bersama Allah, mengatasi setiap pikiran, gambaran, dan perasaan manusiawi kita. Di sanalah ada kehidupan, terang, perdamaian, perjamuan nikah, rumah Bapa, Yerusalem surgawi dan firdaus. Itulah surga, tanah air yang kita dambakan dalam hidup ini.

Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah namun belum disucikan secara sempurna sudah pasti akan menikmati tanah air abadi yaitu surga. Akan tetapi, sebelum ia bersatu dengan Allah dan menikmati kebahagiaan surgawi, ia masih harus menjalankan suatu pemurnian atau penyucian, supaya ia sempurna dalam kesuciannya sehingga ia dapat masuk ke dalam kebahagiaan surgawi. Pandangan Gereja Katolik menamakan tempat ini dengan Api Penyucian atau Purgatorium. Ini berbeda dengan siksaan abadi atau neraka. Purgatorium merupakan suatu tempat persinggahan untuk dimunikan sebelum masuk dan bersatu dengan Allah dalam kerajaan surga.

Tradisi Gereja berbicara tentang api penyucian yang berpedomaan pada teks-teks Kitab Suci seperti: 1Kor 3:15, 1Ptr 1:7. Hal ini juga ditegaskan oleh Santo Gregorius Agung: "Kita harus percaya bahwa sebelum pengadilan, masih ada api penyucian untuk dosa-dosa ringan tertentu, karena kebenaran abadi mengatakan bahwa kalau seseorang menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, di dunia yang akan datang pun tidak” (bdk. Mat 12:32). Dari ungkapan ini nyatalah bahwa beberapa dosa dapat diampuni di dunia yang akan datang.

Ajaran Gereja katolik tentang purgatorium, yang mendorong umatnya untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal memiliki dasar alkitabiahnya. Dikisahkan Yudas Makabe mengadakan kurban penyilihan untuk orang-orang mati supaya mereka dibebaskan dari segala dosanya (2Mak 12:45). Sejak zaman dahulu Gereja sangat menghargai peringatan akan orang-orang mati (1 November) dan membawa mereka dalam doa terutama dalam Ekaristi, pada Doa Syukur Agung: "Berikanlah istirahat kekal kepada mereka dan kepada semua saudara yang meninggal dalam Kristus, kasihanilah dan sambutlah mereka dalam pangkuan-Mu."

Di samping surga dan purgatorim yang merupakan tempat kebahagiaan abadi dan tempat penyucian, ada juga neraka. Yesus berbicara beberapa kali tentang 'Gehena' yaitu api yang tak terpadamkan (Mat 5:22.29, 13:49, Mrk 9:43-48), yang ditentukan bagi mereka yang sampai akhir hidupnya menolak untuk percaya dan bertobat. Oleh karena itu, mereka tidak dapat disatukan dengan Allah. Mereka tidak mencintai Allah dan melakukan dosa-dosa besar terhadap Dia, terhadap sesama, dan terhadap diri sendiri. "Barang siapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut. Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh. Dan kamu tahu bahwa tidak ada seorang pembunuh yang memiliki hidup kekal dalam dirinya" (1Yoh 3: 14-15).

Ajaran Gereja mengatakan bahwa ada neraka dan bahwa hukuman neraka berlangsung sampai selama-lamanya. Jiwa orang yang mati dalam keadaan dosa berat langsung sesudah kematian menuju ke dunia orang mati tempat mereka mengalami siksaan neraka; api abadi. Ini merupakan suatu keterpisahan abadi dengan Allah, pencipta dan sumber kehidupan.

Jika surga adalah kebahagiaan abadi bersama Allah, maka neraka merupakan suatu kebalikan dari surga yaitu terpisah dari Allah untuk selama-lamanya. Ini terjadi karena selama hidupnya ia menolak Allah dan rahmat yang ditawarkan-Nya yaitu keselamatan.


RENUNGAN SINGKAT

Kematian merupakan suatu peristiwa yang sangat menyedihkan, apalagi jika menimpa seseorang yang sangat kita cintai. Tak ada penderitaan yang lebih besar daripada penderitaan ketika kita merasa ditinggalkan atau kehilangan seseorang. Demikian juga penderitaan yang dialami Bunda Maria, mencapai puncaknya ketika Sang Anak yang terkasih tak berdaya di kayu salib. Namun, seperti suatu benih tak akan menghasilkan buah banyak, jika ia tidak mati lebih dahulu, demikianlah kematian Kristus menghasilkan buah yang tak terkatakan bagi keselamatan umat manusia, melalui kebangkitan-Nya dari antara orang mati.

Hidup Kristen merupakan suatu perjalanan mengikuti jejak Kristus yang telah dibangkitkan dari antara orang-orang mati sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal (bdk. 1Kor 15:20). Kristus wafat di salib untuk menyelamatkan manusia dan memberikan suatu kehidupan kekal kepadanya. Kita percaya bahwa di mana iman akan Yesus Kristus tumbuh dan berbuah, di sanalah jejak-jejak kebangkitan akan terpenuhi oleh Kristus. Dengan iman yang kita miliki sejauh kita hidup dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah terus-menerus, suatu saat kita akan berkumpul bersama dalam perjamuan nikah Anak Domba di surga. Bukankah hidup kita merupakan suatu harapan? Berharap...ya senantiasa berharap!!! Allah tidak akan mengingkari janji-Nya. Harapan kita tidak pernah dikecewakan-Nya. Saat ini kita tidak mengerti kehendak Tuhan yang terjadi atas diri kita. Namun, satu hal yang pasti bahwa kebangkitan adalah suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri dan surga merupakan tempat kediaman kita selama-lamanya, tanah air abadi yang kita rindukan, tempat semua makhluk merasakan cinta dan kebaikan seorang Bapa kepada anak-anak-Nya.

Kematian bukanlah akhir dari segala-galanya tetapi merupakan suatu perjalanan menuju kediaman abadi dalam rumah Bapa. Untuk menyediakan tempat bagi kitalah, Kristus harus meninggalkan dunia ini dan wafat disalib. (bdk. Yoh 14:2). Dengan demikian, kematian merupakan perjalanan pulang dari perziarahan menuju pangkuan Bapa. Bapa menanti kita semua untuk berkumpul dalam kerajaan-Nya sebagai anak dan Bapa, dan memerintah bersama Dia untuk selama-lamanya....(Why 22:5).

https://www.carmelia.net/index.php/artikel/tulisan-lepas/232-kematian-dalam-pandangan-katolik

No comments:

Post a Comment